Hukum perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih di dalam lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan Undang-undang. Sedangkan perjanjian adalah perbuatan hukum.
Unsur-unsur perikatan:
1.
Hubungan Hukum
2.
Harta kekayaan
3.
Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak
4.
Prestasi.
Syarat sahnya perikatan yaitu :
1.
Obyeknya harus tertentu. Syarat ini diperlukan hanya terhap perikatan yang timbul dari perjanjian.
2.
Obyeknya harus diperbolehkan, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.
3.
Obyeknya dapat dinilai dengan uang. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pengertian perikatan.
4.
Obyeknya harus mungkin, yaitu yang mungkin sanggup dilaksanakan dan bukan sesuatu yang mustahil.
Macam-macam perikatan :
1.
Perikatan bersyarat
2.
Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
3.
Perikatan yang membolehkan memilih
4.
Perikatan tanggung menanggung
5.
Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
6.
Perikatan tentang penetapan hukuman
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.
Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) .
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1.
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata )
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata )
Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Azas-azas dalam Hukum Perikatan
1.
Azas Konsensualisme :
a.
Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt
b.
Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal.
2.
Azas Pacta Sunt Servada
Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt :
Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihak azas – azas hukum perikatan.
3.
Azas Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk :
a.
Membuat atau tidak membuat perjanjian
b.
Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c.
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
d.
Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Di samping ketiga azas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
Asas kepercayaan
Asas persamaan hukum
Asas keseimbangan
Asas kepastian hukum
Asas moral
Asas kepatutan
Asas kebiasaan
Asas perlindungan
Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
1. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
2. Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
a. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
a) Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
b) Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor
c) Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
b. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
c. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 KUHPer menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan, yaitu:
1.
Pembayaran
Dengan “pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Yang wajib membayar suatu utang, bukan saja si berutang, tetapi juga seorang kawan berutang dan seorang penanggung utang. Dalam pasal 1332 KUHPer diterangkan bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga yang bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Agar pembayaran itu sah, perlu orang yang membayar itu pemilik dari barang yang dibayarkan dan berkuasa memindahtangankannya.
Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh UU untuk menerima pembayaran-permbayaran bagi si berpiutang.
2.
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
Merupakan cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Cara itu adalah sebagai berikut :
a. Barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan kepada kreditur atas nama debitur, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses perbal.
b. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu.
c. Apabila kreditur menolak, maka notaris/juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses perbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris/jurusita di atas surat proses perbal tersebut. Dengan demikian ada bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran.
d. Langkah berikutnya: Debitur di muka Pengadilan Negeri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu.
e. Setelah itu, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian utang piutang itu sudah hapus. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan (resiko) si berpiutang.
Si berpiutang sudah bebas dari utangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berutang.
3.
Pembaharuan utang atau Novasi
Menurut pasal 1413 KUHPer, ada 3 macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu:
a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Disebut dengan novasi objektif karena yang diperbaharui adalah objeknya perjanjian.
b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut novasi subjektif passif karena yang diganti adalah debiturnya;
c. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut sebagai novasi subjektif aktif karena yang diganti adalah krediturnya.
4.
Perjumpaan utang atau kompensasi
Merupakan cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.
5.
Perjumpaan tersebut terjadi demi hukum
Agar dua utang dapat diperjumpakan, perlulah dua utang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kedua utang itu harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan kwalitet yang sama, misalnya beras kwalitet Cianjur.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa utang piutang antara kedua belah pihak itu telah lahir, terkecuali :
a. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya
b. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan
c. Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
Jadi ketentuan di atas merupakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang demikian.
6.
Pencampuran utang
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadi demi hukum suatu pencampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang dalam hal pencampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.
Pencampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya (“borg). Sebaliknya pencampuran yang terjadi pada seorang penanggung utang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.
7.
Pembebasan utang
Apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan – yaitu hubungan utang piutan – hapus. Perikatan di sini hapus karena pembebasan. Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan, misalnya pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh si berpiutang kepada si berutang.
Pembebasan utang perlu diterima baik dahulu oleh debitur, barulah dapat dikatakan bahwa perikatan utang-piutang telah hapus karena pembebasan, sebab ada juga kemungkinan seorang debitur tidak suka dibebaskan dari utangnya.
Perbedaan antara pembebasan utang dengan pemberian (“schenking”) adalah bahwa pembebasan utang tidak menerbitkan suatu perikatan, justru menghapuskan perikatan, dan dengan suatu pembebasan tidak dapat dipindahkan suatu hak milik, sebaliknya suatu pemberian meletakkan suatu perikatan antara pihak penghibah dan pihak yang menerima hibah dan perikatan itu bertujuan memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.
Musnahnya barang yang terutang Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
8.
Batal/pembatalan
Perjanjian-perjanjian yang kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu.
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara:
a. Pertama, secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim.
b. Kedua, secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan di situlah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.
Untuk penuntutan secara aktif diberi batas waktu 5 tahun, sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu itu. Penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada “penerimaan baik” dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
Ada pula kekuasaan yang oleh “Ordonansi Woeker” diberikan kepada Hakim untuk membatalkan perjanjian, kalau ternyata antara kedua belah pihak telah diletakkan kewajiban secara timbal balik, yang satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam keadaan terpaksa.
9.
Berlakunya syarat batal
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam Hukum Perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu, syarat batal itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Namun berlaku surutnya pembatalan itu hanyalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu mungkin dilaksanakan.
10.
Lewat waktu (Kadaluwarsa)
Menurut pasal 1946 KUHPer, yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Kadaluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitif”, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctif”.
Menurut pasal 1967, segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagipula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut di atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu “perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur jika ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelak atau menangkis setiap tuntutan.
Sumber :
http://abaslessy.wordpress.com/2012/10/26/hukum-perikatan-dan-perjanjian/
http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan
http://www.unida.ac.id/fh/directory/download/hukum%20perikatan.pdf